I. PENDAHULUAN
Salah satu isu sentral dalam era desentralisasi adalah pengembangan SDM untuk mampu memberikan nilai tambah dalam proses produksi. Serta merta pembicaraan pun terfokus pada sektor pendikan yang seharusnya menghasilkan tenaga siap pakai sesuai dengan era industri dan era teknologi.
Membahas aspek pendidikan dalam pengembangan SDM adalah tepat, akan tetapi tidak lengkap. Dimensi lain yang mutlak harus diperhatikan adalah kesehatan. Bahkan masalah kesehatan ini seharusnya lebih awal ditangani sebelum pendidikan, sebab keberhasilan investasi di sektor pendidikan sangat ditentukan oleh kondisi kesehatan penduduk. Selain itu, pelayanan kesehatan harus dilihat sebagai investasi SDM untuk menghindari lost dari penyakit, kematian, serta untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja. itulah sebabnya kesehatan itu harus ditempatkan di hulu, tidak lagi di pinggir, tapi di mainstream.
Selama ini pembiayaan kesehatan belum mendapat tempat yang sesuai dengan perannya dalam pembangunan bangsa, padahal pembiayaan merupakan salah satu unsur strategis dalam pembangunan dan pelayanan kesehatan. Pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan menurut beberapa survei masih berada pada kisaran 2–3%. Sementara pengeluaran rumah tangga untuk hal-hal yang sifatnya health destruction seperti rokok dapat mencapai 6–7%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendanaan kesehatan kita masih jauh dari memadai (underfunded). Banyak ahli berpendapat bahwa tertinggalnya perbaikan keadaan kesehatan di Indonesia bila dibandingnkan dengan negara-negara tetangga terutama disebabkan pembiayaan kesehatan yang sangat rendah.
Makalah ini menguraikan secara singkat situasi pembiayaan kesehatan dan berbagai masalah pembiayaan yang dihadapi. Pembahasan lebih lebih diarahkan kepada upaya memobilisasi pembiayaan (resource mobilization).
Salah satu isu sentral dalam era desentralisasi adalah pengembangan SDM untuk mampu memberikan nilai tambah dalam proses produksi. Serta merta pembicaraan pun terfokus pada sektor pendikan yang seharusnya menghasilkan tenaga siap pakai sesuai dengan era industri dan era teknologi.
Membahas aspek pendidikan dalam pengembangan SDM adalah tepat, akan tetapi tidak lengkap. Dimensi lain yang mutlak harus diperhatikan adalah kesehatan. Bahkan masalah kesehatan ini seharusnya lebih awal ditangani sebelum pendidikan, sebab keberhasilan investasi di sektor pendidikan sangat ditentukan oleh kondisi kesehatan penduduk. Selain itu, pelayanan kesehatan harus dilihat sebagai investasi SDM untuk menghindari lost dari penyakit, kematian, serta untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja. itulah sebabnya kesehatan itu harus ditempatkan di hulu, tidak lagi di pinggir, tapi di mainstream.
Selama ini pembiayaan kesehatan belum mendapat tempat yang sesuai dengan perannya dalam pembangunan bangsa, padahal pembiayaan merupakan salah satu unsur strategis dalam pembangunan dan pelayanan kesehatan. Pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan menurut beberapa survei masih berada pada kisaran 2–3%. Sementara pengeluaran rumah tangga untuk hal-hal yang sifatnya health destruction seperti rokok dapat mencapai 6–7%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendanaan kesehatan kita masih jauh dari memadai (underfunded). Banyak ahli berpendapat bahwa tertinggalnya perbaikan keadaan kesehatan di Indonesia bila dibandingnkan dengan negara-negara tetangga terutama disebabkan pembiayaan kesehatan yang sangat rendah.
Makalah ini menguraikan secara singkat situasi pembiayaan kesehatan dan berbagai masalah pembiayaan yang dihadapi. Pembahasan lebih lebih diarahkan kepada upaya memobilisasi pembiayaan (resource mobilization).
II. SITUASI PEMBIAYAAN KESEHATAN
Sumber-sumber dan alokasi biaya kesehatan
Secara garis besar, biaya kesehatan bisa berasal dari pemerintah, dari swasta dan dari masyarakat. Besar biaya kesehatan hanya sekitar 2,5% PDB. Dari jumlah tersebut 30% berasal dari pemerintah, sisanya sebanyak 70% berasal dari masyarakat dan swasta, yaitu:
1. Pembayaran langsung oleh masyarakat (out of pocket) sebesar 75%.
2. Anggaran kesehatan perusahaan 19% dan asuransi sebesar 6%.
Dari angka-angka tersebut tampak bahwa peranan asuransi dalam pembiayaan kesehatan masih sangat kecil, sebagian besar masyarakat masih tergantung pada mekanisme “fee for services”.
Inflasi biaya Kesehatan
Secara garis besar, biaya kesehatan bisa berasal dari pemerintah, dari swasta dan dari masyarakat. Besar biaya kesehatan hanya sekitar 2,5% PDB. Dari jumlah tersebut 30% berasal dari pemerintah, sisanya sebanyak 70% berasal dari masyarakat dan swasta, yaitu:
1. Pembayaran langsung oleh masyarakat (out of pocket) sebesar 75%.
2. Anggaran kesehatan perusahaan 19% dan asuransi sebesar 6%.
Dari angka-angka tersebut tampak bahwa peranan asuransi dalam pembiayaan kesehatan masih sangat kecil, sebagian besar masyarakat masih tergantung pada mekanisme “fee for services”.
Inflasi biaya Kesehatan
Terbatasnya dana kesehatan makin diperkuat oleh kenyataan, bahwa biaya pelayanan kesehatan bergerak semakin mahal dengan laju inflasi 2–3 kali inflasi ekonomi secara umum. Pelayanan kesehatan (medical care) adalah salah satu komoditi jasa yang sangat rentan terhadap inflasi biaya. Untuk pelayanan RS, sebagian besar biayanya berasal dari 3 komponen pokok, yaitu (1) jasa profesi medis dan paramedis, (2) obat dan bahan medis, dan (3) investasi teknologi kedokteran. Faktor-faktor yang menyebabkan inflasi tersebut dapat dilihat dari aspek supply dan aspek demand. Dari aspek supply, dapat ditelusuri masing-masing cost item produksi pelayanan kesehatan, yaitu biaya investasi (tanah, gedung, alat medis dan alat nonmedis), serta biaya operasional dan pemeliharaan.
Biaya personalia dan biaya obat adalah komponen biaya yang terbesar dalam struktur anggaran RS. Selama ini biaya personalia memang mengalami inflasi. Berbeda dengan industri lain, perkembangan ilmu dan teknologi tidak menyebabkan otomatisasi (karena pengurangan peran manusia) terjadi dalam industri kesehatan. Perkembangan IPTEK justru mengembangkan cabang-cabang spesialisasi baru yang semakin sempit. Kecenderungan ini menyebabkan suatu kasus penyakit perlu ditangani oleh semakin banyak tenaga profesi. Ini menyebabkan industri kesehatan semakin hari semakin padat karya (labor intensive).
Dari aspek demand terhadap pelayanan RS, dapat dilihat dari tingkat hunian atau “bed occupancy rate” (BOR). Menurut perkiraan rata-rata setiap penduduk Indonesia memerlukan rawat inap di RS 0,5 hari/kapita/tahun (Ascobat, 1994). Untuk RSUD "X" misalnya, BOR (tahun 2009) baru mencapai 65%. Dengan asumsi ini kebutuhan hari rawat untuk penduduk di Kabupaten '"X" yang berjumlah 137.334 jiwa adalah 68.667 hari rawat/tahun. Ini berarti kebutuhan tempat tidur (TT) adalah sebanyak 180, padahal yang tersedia hanya 60 TT. Angka ini memberi gambaran kasar tentang “need” penduduk terhadap pelayanan rawat inap RS. Namun “demand” yang terjadi masih jauh dari perkiraan need, karena jumlah hari rawat adalah 65% x 60 x 365 = 14.235 hari. Ini artinya hanya sekitar 17% dari perkiraan need tersebut di atas. Dengan demikian, prospek pasar pelayanan RS sangat tergantung pada faktor-faktor yang menentukan konversi “need” menjadi “demand”.
Dampak transisi epidemiologis
Secara konseptual, transisi epidemiologis adalah bergesernya pola penyakit yang didominasi oleh penyakit-penyakit infeksi (yang umumnya berkaitan denga lingkungan kesehatan dan kemiskinanan) ke arah pola penyakit mix antara penyakit infeksi dan noninfeksi seperti kardiovaskuler, kecelakaaan, dll. Transisi ini disebabkan oleh makin banyaknya penduduk usia lanjut, perubahan gaya hidup, dan meningkatnya industrialisasi. Selama transisi tersebut, pembangunaan kesehatan akan menghadapi beban ganda. Pada satu sisi, penyakit infeksi yang mengenai penduduk dalam jumlah besar membutuhkan biaya pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur yang sangat besar, di sisi lain kasus-kasus penyakit khronis dan degenaratif yang telah meningkat secara mencolok memerlukan perawatan di rumah sakit oleh para spesialis, yang biasanya biayanya lebih mahal dibandingkan dengan biaya pengobatan penyakit infeksi. Selain itu, karena penderita penyakit tersebut pada umumnya berasal dari strata sosial dan ekonomi tinggi, mereka akan meminta pelayanan yang lebih berkualitas. Keadaan ini menyebabkan biaya operasional di RS meningkat.
Rendahnya cost recovery rate (CRR)
CRR industri pelayanan kesehatan milik pemerintah, terutama RS tergolong sangat rendah. Rendahnya CRR ini disebabkan antara lain oleh besaran tarif yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan biaya satuan (unit cost). Hasil penelitian yang dilakukan di beberapa RS pemerintah seperti RSU Kabupaten Ternate, RSU Luwuk Banggai dan RSU Kabupaten Polmas menyimpulkan bahwa tarif yang diberlakukan jauh lebih rendah dari biaya satuan pelayanan. Demikian pula penelitian yang dilaksanakan pada instalasi rawat inap RSU Kabupaten Majene membuktikan bahwa tanpa memasukkan biaya investasi dalam perhitungan biaya satuan, tarif (Perda) yang ditetapkan lebih rendah dari biaya satuan pelayanan rawat inap dan kemampuan membayar (ability to pay) pasien di kelas II, kelas I dan VIP. Dengan kondisi seperti ini, pemerintah memberikan subsidi kepada setiap pasien yang dirawat. Subsidi tersebut tidak hanya diberikan kepada the poor yang ada di kelas III, tetapi juga kepada pasien the haves yang dirawat di fasilitas VIP. Kondisi ini telah menguatkan hasil-hasil studi dan penelitian yang dilakukan oleh Bank Dunia dan beberapa pakar kesehatan yang membuktikan bahwa subsidi pemerintah untuk pelayanan kesehatan lebih banyak dinikmati oleh golongan masyarakat yang mampu.
III. MOBILISASI DANA KESEHATAN
Asuransi kesehatan
Kebutuhan akan pelayanan kesehatan tidak dapat diduga (uncertainly), kadang-kadang merupakan pertarungan antara hidup dan mati, ironisnya biaya yang dikeluarkan oleh pasien dan keluarganya juga sangat mahal, disamping hilangnya produktivitas pasien dan keluarganya. Untuk itulah perlunya risiko individu dialihkan menjadi risiko kelompok sehingga biaya kesehatan tidak terlalu membebani orang per orang.
Seperti diketahui bahwa hak masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan adalah hak asasi yang paling mendasar bagi setiap manusia. Dalam Amandemen UUD 1945, wakil rakyat telah menetapkan bahwa setiap penduduk berhak atas pelayanan kesehatan. Hal tersebut merupakan landasan ideal untuk memberikan garis besar tugas kepada pemerintah agar suatu ketika hak tersebut dapat diberikan kepada setiap penduduk. Untuk mendapatkan haknya, tentu saja setiap penduduk mempunyai kewajiban.
Secara teoritis, permintaan masyarakat terhadap asuransi kesehatan akan terus meningkat di masa yang akan datang, karena beberapa faktor: Pertama, makin jelasnya risiko kerugian finansial yang dihadapi penduduk akibat pergeseran pola penyakit ke arah penyakit noninfeksi (cardiovaskuler, dll) yang memang biayanya mahal. Pergeseran pola penyakit ini sejalan dengan makin bertambahnya jumlah penduduk usia tua. Kedua, meningkatnya pendidikan dan pendapatan masyarakat sehingga kesadaran dan kemampuan membayar premi asuransi juga meningkat.
Sebenarnya asuransi kesehatan bukanlah barang baru di Indonesia. Asuransi kesehatan dibentuk pertamakali berdasarkan Keppres No.230 Tahun 1968 yang dimulai dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan penerima pensiun. Kemudian dikeluarkan beberapa undang-undang yang berkaitan dengan asuransi kesehatan, yaitu pertama, UU No.2 Tahun 1992 dan PP No. 69 Tahun 1992 yang melandasi PT. ASKES untuk memperluas kepesertaannya di luar PNS dan penerima pensiun yang disebut Asuransi Kesehatan Sukarela. Kedua UU No.3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK); ketiga, UU No.23 Tahun 1992 pasal 1 dan pasal 66 tentang JPKM; UU No.40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), dan terakhir UU No.24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). UU BPJS mengatur transformasi (aset, kelembagaan, kepesertaan, program) 4 BUMN penyelenggara Jaminan Sosial (BUMN JS) yang ada saat ini, yaitu PT. Jamsostek, PT. Askes, PT. Taspen, dan PT. Asabri.
Dengan berkembangnya asuransi, maka RS juga didesak untuk mengetahui biaya satuan pelayanannya. Teknik-teknik pentarifan juga perlu diterapkan, sehingga RS mempunyai bargaining position dalam menghadapi perusahaan asuransi. Ini berarti RS harus membenahi sistem akuntansinya agar analisis biaya tersebut dapat dilakukan dengan baik.
Penyesuaian tarif
Defresi rupiah yang kerap terjadi berimbas kepada makin mahalnya operasional dan investasi industri kesehatan, khususnya pembiayaan pelayanan sekunder seperti rumah sakit terus bertambah mahal. Selain itu, persaingan dalam menghadapi era globalisasi terutama dengan telah ditabuhnya genderang AFTA sejak April 2003, meningkatnya kesadaran dan tuntutan masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu, kesemuanya itu memerlukan SDM dan dana yang memadai.
Beberapa kajian menunjukkan bahwa alokasi anggaran kesehatan relatif masih rendah dengan persentase terbesar berasal dari masyarakat (out of pocket payment) yaitu 70%. Ini dapat diartikan bahwa terjaminnya keuangan suatu RS tergantung pada harga pelayanan (price) yang ditetapkan. Selain itu, dalam kenyataan memang ada segmen masyarakat yang mempunyai permintaan jasa pelayanan kesehatan yang lebih tinggi. Mereka ini perlu diberdayakan untuk mengeluarkan biaya kesehatan secara rasional. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memobilisasi dana masyarakat adalah mengubah tarif pelayanan sesuai dengan biaya satuan dengan mempertimbangkan kemampuan membayar masyarakat. Dengan penyesuaian tarif ini diharapkan akan tersedia dana lebih banyak untuk meningkatkan mutu dan cakupan pelayanan. Selain itu, kenaikan tarif diperkirakan akan mendorong perkembangan asuransi kesehatan karena akan menimbulkan risiko finansial.
Penyediaan anggaran melalui pajak penjualan
Salah satu alternatif yang digagas oleh banyak pihak dan karena itu patut dipertimbangkan dalam penyediaan anggaran kesehatan adalah melalui mekanisme pajak. Sebagai contoh sistem ini adalah earmarked tax, yaitu memungut pajak terhadap produk yang diketahui berdampak negatif bagi kesehatan dan mengalokasikan pajak tersebut untuk anggaran kesehatan. Alasan kuat untuk alternatif ini, bahwa rokok sudah diketahui menyebabkan berbagai penyakit seperti gangguan kardiovaskuler, pneumonia dan bahkan kanker paru. Demikian juga dengan minuman keras, selain dapat menimbulkan penyakit kardiovaskuler juga diketahui berperan sebagai pencetus berbagai kecelakaan, termasuk kecelakaan lalu lintas. Mekanisme pajak demikian sekaligus dapat berdampak sebagai upaya pencegahan masalah kesehatan yang akhirnya dapat menekan biaya kesehatan.
IV. KESIMPULAN
Pembiayaan kesehatan reatif masih rendah, dipihak lain ongkos pelayanan kesehatan akan tetap mengalami peningkatan. Untuk ini perlu memobilasikan sumber dana terutama yang ada dalam masyarakat melalui mekanisme asuransi kesehatan. Hanya dengan cara ini pemerataan dan peningkatan mutu pelayanan dapat dicapai lebih cepat.
REFERENSI
Gani, A. 1994. Pembiayaan Rumah Sakit dan Prospek Perkembangan Asuransi Kesehatan Selama PJPT II. Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia. Nomor 12: 743–749.
Mill, A., dan Gilson, L. 1990. Ekonomi Kesehatan untuk Negara-negara Sedang Berkembang. Dian Rakyat, Jakarta.
Munawar, 2003. Rasionalisasi Tarif Rawat Inap Rumah Sakit Melalui Analisis Biaya Satuan, Kemampuan dan Kemauan Pasien Membayar. Jurnal Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Vol. I Nomor 2 hlm. 84-92
Thabrany, H. 2002. Peran Publik dalam Pembiayaan Kesehatan. Maj Ked Indon, Volum 52, Nomor 1, hlm 1−6
World Health Organization. 1993. Evaluasi Perubahan-perubahan Mutakhir dalam Pembiayaan Pelayanan Kesehatan. Terjemahan oleh Adi Utarini Dwiprahasto. 1993. Yogyakarta: UGM.
Biaya personalia dan biaya obat adalah komponen biaya yang terbesar dalam struktur anggaran RS. Selama ini biaya personalia memang mengalami inflasi. Berbeda dengan industri lain, perkembangan ilmu dan teknologi tidak menyebabkan otomatisasi (karena pengurangan peran manusia) terjadi dalam industri kesehatan. Perkembangan IPTEK justru mengembangkan cabang-cabang spesialisasi baru yang semakin sempit. Kecenderungan ini menyebabkan suatu kasus penyakit perlu ditangani oleh semakin banyak tenaga profesi. Ini menyebabkan industri kesehatan semakin hari semakin padat karya (labor intensive).
Dari aspek demand terhadap pelayanan RS, dapat dilihat dari tingkat hunian atau “bed occupancy rate” (BOR). Menurut perkiraan rata-rata setiap penduduk Indonesia memerlukan rawat inap di RS 0,5 hari/kapita/tahun (Ascobat, 1994). Untuk RSUD "X" misalnya, BOR (tahun 2009) baru mencapai 65%. Dengan asumsi ini kebutuhan hari rawat untuk penduduk di Kabupaten '"X" yang berjumlah 137.334 jiwa adalah 68.667 hari rawat/tahun. Ini berarti kebutuhan tempat tidur (TT) adalah sebanyak 180, padahal yang tersedia hanya 60 TT. Angka ini memberi gambaran kasar tentang “need” penduduk terhadap pelayanan rawat inap RS. Namun “demand” yang terjadi masih jauh dari perkiraan need, karena jumlah hari rawat adalah 65% x 60 x 365 = 14.235 hari. Ini artinya hanya sekitar 17% dari perkiraan need tersebut di atas. Dengan demikian, prospek pasar pelayanan RS sangat tergantung pada faktor-faktor yang menentukan konversi “need” menjadi “demand”.
Dampak transisi epidemiologis
Secara konseptual, transisi epidemiologis adalah bergesernya pola penyakit yang didominasi oleh penyakit-penyakit infeksi (yang umumnya berkaitan denga lingkungan kesehatan dan kemiskinanan) ke arah pola penyakit mix antara penyakit infeksi dan noninfeksi seperti kardiovaskuler, kecelakaaan, dll. Transisi ini disebabkan oleh makin banyaknya penduduk usia lanjut, perubahan gaya hidup, dan meningkatnya industrialisasi. Selama transisi tersebut, pembangunaan kesehatan akan menghadapi beban ganda. Pada satu sisi, penyakit infeksi yang mengenai penduduk dalam jumlah besar membutuhkan biaya pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur yang sangat besar, di sisi lain kasus-kasus penyakit khronis dan degenaratif yang telah meningkat secara mencolok memerlukan perawatan di rumah sakit oleh para spesialis, yang biasanya biayanya lebih mahal dibandingkan dengan biaya pengobatan penyakit infeksi. Selain itu, karena penderita penyakit tersebut pada umumnya berasal dari strata sosial dan ekonomi tinggi, mereka akan meminta pelayanan yang lebih berkualitas. Keadaan ini menyebabkan biaya operasional di RS meningkat.
Rendahnya cost recovery rate (CRR)
CRR industri pelayanan kesehatan milik pemerintah, terutama RS tergolong sangat rendah. Rendahnya CRR ini disebabkan antara lain oleh besaran tarif yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan biaya satuan (unit cost). Hasil penelitian yang dilakukan di beberapa RS pemerintah seperti RSU Kabupaten Ternate, RSU Luwuk Banggai dan RSU Kabupaten Polmas menyimpulkan bahwa tarif yang diberlakukan jauh lebih rendah dari biaya satuan pelayanan. Demikian pula penelitian yang dilaksanakan pada instalasi rawat inap RSU Kabupaten Majene membuktikan bahwa tanpa memasukkan biaya investasi dalam perhitungan biaya satuan, tarif (Perda) yang ditetapkan lebih rendah dari biaya satuan pelayanan rawat inap dan kemampuan membayar (ability to pay) pasien di kelas II, kelas I dan VIP. Dengan kondisi seperti ini, pemerintah memberikan subsidi kepada setiap pasien yang dirawat. Subsidi tersebut tidak hanya diberikan kepada the poor yang ada di kelas III, tetapi juga kepada pasien the haves yang dirawat di fasilitas VIP. Kondisi ini telah menguatkan hasil-hasil studi dan penelitian yang dilakukan oleh Bank Dunia dan beberapa pakar kesehatan yang membuktikan bahwa subsidi pemerintah untuk pelayanan kesehatan lebih banyak dinikmati oleh golongan masyarakat yang mampu.
III. MOBILISASI DANA KESEHATAN
Asuransi kesehatan
Kebutuhan akan pelayanan kesehatan tidak dapat diduga (uncertainly), kadang-kadang merupakan pertarungan antara hidup dan mati, ironisnya biaya yang dikeluarkan oleh pasien dan keluarganya juga sangat mahal, disamping hilangnya produktivitas pasien dan keluarganya. Untuk itulah perlunya risiko individu dialihkan menjadi risiko kelompok sehingga biaya kesehatan tidak terlalu membebani orang per orang.
Seperti diketahui bahwa hak masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan adalah hak asasi yang paling mendasar bagi setiap manusia. Dalam Amandemen UUD 1945, wakil rakyat telah menetapkan bahwa setiap penduduk berhak atas pelayanan kesehatan. Hal tersebut merupakan landasan ideal untuk memberikan garis besar tugas kepada pemerintah agar suatu ketika hak tersebut dapat diberikan kepada setiap penduduk. Untuk mendapatkan haknya, tentu saja setiap penduduk mempunyai kewajiban.
Secara teoritis, permintaan masyarakat terhadap asuransi kesehatan akan terus meningkat di masa yang akan datang, karena beberapa faktor: Pertama, makin jelasnya risiko kerugian finansial yang dihadapi penduduk akibat pergeseran pola penyakit ke arah penyakit noninfeksi (cardiovaskuler, dll) yang memang biayanya mahal. Pergeseran pola penyakit ini sejalan dengan makin bertambahnya jumlah penduduk usia tua. Kedua, meningkatnya pendidikan dan pendapatan masyarakat sehingga kesadaran dan kemampuan membayar premi asuransi juga meningkat.
Sebenarnya asuransi kesehatan bukanlah barang baru di Indonesia. Asuransi kesehatan dibentuk pertamakali berdasarkan Keppres No.230 Tahun 1968 yang dimulai dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan penerima pensiun. Kemudian dikeluarkan beberapa undang-undang yang berkaitan dengan asuransi kesehatan, yaitu pertama, UU No.2 Tahun 1992 dan PP No. 69 Tahun 1992 yang melandasi PT. ASKES untuk memperluas kepesertaannya di luar PNS dan penerima pensiun yang disebut Asuransi Kesehatan Sukarela. Kedua UU No.3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK); ketiga, UU No.23 Tahun 1992 pasal 1 dan pasal 66 tentang JPKM; UU No.40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), dan terakhir UU No.24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). UU BPJS mengatur transformasi (aset, kelembagaan, kepesertaan, program) 4 BUMN penyelenggara Jaminan Sosial (BUMN JS) yang ada saat ini, yaitu PT. Jamsostek, PT. Askes, PT. Taspen, dan PT. Asabri.
Berdasarkan UU tersebut, PT. Jamsostek akan ditransformasikan menjadi BPJS KETENAGAKERJAAN penyelenggara program JKM, JKK, JP, JHT. PT. Askes menjadi BPJS KESEHATAN penyelenggara program JK bagi seluruh rakyat. Sedangkan untuk pentransformasian PT. Asabri dan PT. Taspen akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagi RS dengan adanya sistem pendanaan melalui asuransi atau mekanisme prepayment tersebut berarti adanya jaminan pembayaran terhadap pelayanan yang disediakan. Dalam sistem asuransi, RS dapat memproyeksikan pendapatannya secara lebih jelas, yaitu apabila diketahui jumlah peserta asuransi yang terdaftar akan memudahkan perencanaan anggaran RS. Dengan asuransi RS juga bisa melakukan bargaining tarif secara lebih realistis, termasuk dengan perhitungan profit yang ditawarkan. Dengan sistem pembayaran melalui mekanisme kapitasi, tentu saja RS didorong untuk meningkatkan efisiensi dan cost containment. Dalam sistem demikian, RS akan memprioritaskan pemeliharaan kesehatan peserta sehingga premi yang terkumpul menghasilkan surplus yang besar. Ini berarti program promotif dan preventif menjadi prioritas pihak RS. Dari sisi peserta, mereka akan terhindar dari penyakit yang lebih berat, juga adalah suatu keuntungan.
Namun, dengan sistem asuransi, RS akan berhadapan dengan berbagai standar prosedur yang dapat membatasi pihak RS untuk melakukan pemeriksaan dan tindakan yang tidak perlu. Artinya, suatu RS tidak lagi leluasa memberikan pelayanan untuk mengejar break even point (BEP) dalam investasi suatu alat mahal. Sebaliknya, RS dapat pula menekan penyelenggara asuransi untuk membayar paling tidak full unit cost, sehingga RS tersebut dimungkinkan untuk tidak lagi menerima subsidi. Ini sangat menguntungkan bagi RS pemerintah yang selama ini menjadi sarana subsidi kepada pengguna jasa RS tersebut.Bagi RS dengan adanya sistem pendanaan melalui asuransi atau mekanisme prepayment tersebut berarti adanya jaminan pembayaran terhadap pelayanan yang disediakan. Dalam sistem asuransi, RS dapat memproyeksikan pendapatannya secara lebih jelas, yaitu apabila diketahui jumlah peserta asuransi yang terdaftar akan memudahkan perencanaan anggaran RS. Dengan asuransi RS juga bisa melakukan bargaining tarif secara lebih realistis, termasuk dengan perhitungan profit yang ditawarkan. Dengan sistem pembayaran melalui mekanisme kapitasi, tentu saja RS didorong untuk meningkatkan efisiensi dan cost containment. Dalam sistem demikian, RS akan memprioritaskan pemeliharaan kesehatan peserta sehingga premi yang terkumpul menghasilkan surplus yang besar. Ini berarti program promotif dan preventif menjadi prioritas pihak RS. Dari sisi peserta, mereka akan terhindar dari penyakit yang lebih berat, juga adalah suatu keuntungan.
Dengan berkembangnya asuransi, maka RS juga didesak untuk mengetahui biaya satuan pelayanannya. Teknik-teknik pentarifan juga perlu diterapkan, sehingga RS mempunyai bargaining position dalam menghadapi perusahaan asuransi. Ini berarti RS harus membenahi sistem akuntansinya agar analisis biaya tersebut dapat dilakukan dengan baik.
Penyesuaian tarif
Defresi rupiah yang kerap terjadi berimbas kepada makin mahalnya operasional dan investasi industri kesehatan, khususnya pembiayaan pelayanan sekunder seperti rumah sakit terus bertambah mahal. Selain itu, persaingan dalam menghadapi era globalisasi terutama dengan telah ditabuhnya genderang AFTA sejak April 2003, meningkatnya kesadaran dan tuntutan masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu, kesemuanya itu memerlukan SDM dan dana yang memadai.
Beberapa kajian menunjukkan bahwa alokasi anggaran kesehatan relatif masih rendah dengan persentase terbesar berasal dari masyarakat (out of pocket payment) yaitu 70%. Ini dapat diartikan bahwa terjaminnya keuangan suatu RS tergantung pada harga pelayanan (price) yang ditetapkan. Selain itu, dalam kenyataan memang ada segmen masyarakat yang mempunyai permintaan jasa pelayanan kesehatan yang lebih tinggi. Mereka ini perlu diberdayakan untuk mengeluarkan biaya kesehatan secara rasional. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memobilisasi dana masyarakat adalah mengubah tarif pelayanan sesuai dengan biaya satuan dengan mempertimbangkan kemampuan membayar masyarakat. Dengan penyesuaian tarif ini diharapkan akan tersedia dana lebih banyak untuk meningkatkan mutu dan cakupan pelayanan. Selain itu, kenaikan tarif diperkirakan akan mendorong perkembangan asuransi kesehatan karena akan menimbulkan risiko finansial.
Penyediaan anggaran melalui pajak penjualan
Salah satu alternatif yang digagas oleh banyak pihak dan karena itu patut dipertimbangkan dalam penyediaan anggaran kesehatan adalah melalui mekanisme pajak. Sebagai contoh sistem ini adalah earmarked tax, yaitu memungut pajak terhadap produk yang diketahui berdampak negatif bagi kesehatan dan mengalokasikan pajak tersebut untuk anggaran kesehatan. Alasan kuat untuk alternatif ini, bahwa rokok sudah diketahui menyebabkan berbagai penyakit seperti gangguan kardiovaskuler, pneumonia dan bahkan kanker paru. Demikian juga dengan minuman keras, selain dapat menimbulkan penyakit kardiovaskuler juga diketahui berperan sebagai pencetus berbagai kecelakaan, termasuk kecelakaan lalu lintas. Mekanisme pajak demikian sekaligus dapat berdampak sebagai upaya pencegahan masalah kesehatan yang akhirnya dapat menekan biaya kesehatan.
IV. KESIMPULAN
Pembiayaan kesehatan reatif masih rendah, dipihak lain ongkos pelayanan kesehatan akan tetap mengalami peningkatan. Untuk ini perlu memobilasikan sumber dana terutama yang ada dalam masyarakat melalui mekanisme asuransi kesehatan. Hanya dengan cara ini pemerataan dan peningkatan mutu pelayanan dapat dicapai lebih cepat.
REFERENSI
Gani, A. 1994. Pembiayaan Rumah Sakit dan Prospek Perkembangan Asuransi Kesehatan Selama PJPT II. Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia. Nomor 12: 743–749.
Mill, A., dan Gilson, L. 1990. Ekonomi Kesehatan untuk Negara-negara Sedang Berkembang. Dian Rakyat, Jakarta.
Munawar, 2003. Rasionalisasi Tarif Rawat Inap Rumah Sakit Melalui Analisis Biaya Satuan, Kemampuan dan Kemauan Pasien Membayar. Jurnal Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Vol. I Nomor 2 hlm. 84-92
Thabrany, H. 2002. Peran Publik dalam Pembiayaan Kesehatan. Maj Ked Indon, Volum 52, Nomor 1, hlm 1−6
World Health Organization. 1993. Evaluasi Perubahan-perubahan Mutakhir dalam Pembiayaan Pelayanan Kesehatan. Terjemahan oleh Adi Utarini Dwiprahasto. 1993. Yogyakarta: UGM.
0 komentar:
Posting Komentar